Cari Blog Ini

Jumat, 11 Juni 2010

TETANUS NEONATORUM

LAPORAN PENDAHULUAN
”TETANUS NEONATORUM”

A. PENGERTIAN.

Selain infeksi saluran pernafasan dan campak, tetanus adalah penyakit yang paling beresiko menyebabkan kematian bayi baru lahir. Tetanus yang menyerang bayi usia di bawah satu bulan dikenal dengan istilah tetanus neonatorum, disebabkan oleh basil Slostridium Tetani. Penyakit ini menular dan menyebabkan resiko kematian sangat tinggi.
Tetanus neonatorum terjadi karena seorang bayi terinfeksi oleh kuman tetanus. Penyakit ini sangat dipengaruhi oleh kualitas pelayanan persalinan dan perawatan tali pusat bayi, juga kualitas pemeliharaan selama kehamilan.
Untuk faktor kualitas pemeliharaan selama kehamilan, ada kebijakan yang mengatur bahwa selama kehamilan, seorang ibu minimal harus melakukan pemeriksaan kehamilan atau Ante Natal Care (ANC) sebanyak 4 kali.
Dalam tahapan ante natal care atau ANC tersebut, seorang ibu seharusnya memperoleh imunisasi berupa tetanus toxid sebanyak 2 kali. Jika proses pemeriksaankehamilan tidak dilakukan secara rutin, imunisasi tetanus toxid ini biasanya juga tidak dilakukan. Akibatnya janin yang ada di dalam kandungan tidak memperoleh imunitas dari penyakit tetanus, sehingga kemungkinan terserang tetanus juga lebih besar.
Faktor lain yang juga memiliki pengaruh terhadap kemungkinan terserangnya penyakit tetanus neonatorum adalah perawatan pasca persalinan. Hal inilah yang selama ini kurang diperhatikan termasuk oleh kalangan tenaga medis, yang biasanya kurang mengigatkan pasiennya tentang perlunya melakukan perawatan pasca persalinan.
Di negara maju, kasus tetanus jarang ditemui karena penyakit ini terkait erat dengan masalah sanitasi dan kebersihan selama proses kelahiran. Kasus tetanus banyak di jumpai di sejumlah negara tropis dan negara dengan kondisi kesehatan yang rendah.
Menurut data organisasi kesehatan dunia (WHO), kematian akibat tetanus di
negara berkembang adalah 135 kali lebih tinggi dibandingkan negara maju. Dari sejumlah kasus, tetanus pada bayi baru lahir memiliki angka yang sangat signifikan. Kebanyakan kasus disebabkan oleh penggunaan tunting yang kotor dan berkarat oleh para bidan dan dukun bayi saat memotong tali pusar bayi.
Tetanus atau Lockjaw :merupakan penyakit akut yang menyerang susunan saraf pusat yang disebabkan oleh racun tetanus pasmin yang dihasilkan oleh clostradium tetani. (Penyakit Infeksi Tropik Pada Anak, 1990)
Tetanus Neonatorum: adalah penyakit tetanus yang terjadi pada neonatus (bayi berusia kurang dari 1 bulan) yang disebabkan oleh clostridium tetani, yaitu kuman yang mengeluarkan toksin (racun) dan menyerang sistem saraf pusat.
Faktor- faktro yang mempengaruhi;
 Faktor Agen (ibu, alat medis, gizi)
 Faktor Host (antibodi, keseimbangan cairan dan elektrolit, perawatan tali pusat)
 Faktor Environment (lingkungan, cahaya ruangan, suara)
 Port of Entry and Exit (port of entry : transplasenta dan tali pusat, port of exit : fases hewan, fases manusia, pada saat perslainan tidak menggunakan alat yang tidak steril)
 Transmisi (tranplasenta dan alat medis).

• faktor agen
a. Ibu
- Pada ibu yang sebelum hamil telah terjangkit penyakit tetanus kemungkinan besar bayi yang dilahirkan akan tertular tetanus.
- Pada ibu yang tidak memperoleh atau tidak lengkap atau tidak sesuai dengan ketentuan program dalam memperoleh imunisasi TT.
b. Alat Medis
Pada saat persalinan alat-alat medis seperti klem tali pusat tidak dalam keadaan steril, hal itu dapat menyebabkan spora kuman tersebut masuk ke dalam tubuh bayi, karena pintu masuk satu-satunya yaitu tali pusat.
c. Gizi
Bayi yang menderita penyakit tetanus neonatorum harus cukup kalori dan protein, bentuk makanan yang diberikan tergantung kemampuan bayi. Dikarenakan neonatus maka pemberian ASI atau susu formula harus diberikan sesering mungkin.
• faktor host
a. Antibodi
Pada ibu yang tidak mendapat imunisasi TT dalam tubuhnya tidak akan membentuk antibodi tetanus, dan itu berdampak pada bayi yang dilahirkan, karena ibunya tidak dapat mendapatkan antibodi maka bayi juga tidak mendapatkan antibodi yang baik.
b. Keseimbangan cairan dan elektrolit
Pada bayi yang kekurangna cairan dan elektrolit dan terkena penyakit tetanus neonatorum maka akan memperparah penyakit tersebut. Karena cairan dalam tubuhnya harus selalu seimbang dan terpenuhi.
c. Perawatan tali pusat
Pada saat tali pusat belum lepas, perawatan tali pusat kurang memperhatikan kebersihan, maka dari itu kuman clostridium tetani dapat measuk secara mudah karena tali pusat mudah sekali terjangkit infeksi.
• faktor environment
a. Cahaya ruangan
Pada bayi yang terkena penyakit tetanus neonatorum sangat peka sekali terhadap cahaya dan dapat mengakibatkan kejang pada bayi yang terjangkit.
b. Suara
Bayi yang terkena penyakit tetanus neonatorum sangat peka dan mudah sekali terkejut dengan suara yang agak keras, kal ini dapat merangsang adanya kejang pada bayi.
c. Kebersihan ruangan
Kuman tetanus mudah sekali berkembang pada lingkungan yang kurang cahaya, lembab dan suhu yang dingin.
• port of entry and exit
a. Port of entry
Agen dapat masuk melalui beberapa cara, antara lain :
Melalui perantara ibu, yaitu tranplasenta pada ibu yang telah terjangkit tetanus sebelum hamil dan pada ibu yang tidak memperoleh imunisasi TT.
Melalui tali pusat, yaitu pada saat persalinan alat-alat yang digunakan untuk memotong tali pusat tidak steril dan pada saat perawatan tali pusat kurang memperhatikan kebersihan
• Transmisi
Tranplasenta : Kuman ini dapat masuk melalui tali pusat yang berhubungan dengan plasenta bayi saat dalam kandungan.
Alat medis : Pada alat medis yang tidak steril dapat menyebabkan kuman masuk melalui tali pusat.

B.ETIOLOGI.

Penyebab tetanus neonatorum adalah clostridium tetani yang merupakan kuman gram positif, anaerob, bentuk batang dan ramping. Kuman tersebut terdapat ditanah, saluran pencernaan manusia dan hewan. Kuman clostridium tetani membuat spora yang tahan lama dan menghasilkan 2 toksin utama yaitu tetanospasmin dan tetanolysin.

C.PATOFISIOLOGI.

Spora yang masuk dan berada dalam lingkungan anaerobic berubah menjadi bentuk vegetatif dan berbiak sambil menghasilkan toxin. Dalam jaringan yang anaerobic ini terdapat penurunan potensial oksidasi reduksi jaringan dan turunnya tekanan oxigen jaringan akibat adanya nanah, nekrosis jaringan, garam kalsium yang dapat diionisasi. Secara intra axonal toxin disalurkan ke sel saraf (cel body) yang memakan waktu sesuai dengan panjang axonnya dan aktifitas serabutnya. Belum terdapat perubahan elektrik dan fungsi sel saraf walaupun toksin telah terkumpul dalam sel. Dalam sungsum belakang toksin menjalar dari sel saraf lower motorneuron ke lekuk sinaps dan diteruskan ke ujung presinaps dari spinal inhibitory neurin. Pada daerah inilah toksin menimbulkan gangguan pada inhibitory transmitter dan menimbulkan kekakuan.









D.POHON MASALAH











Tonus otot  Menempel pada Cerebral Mengenai Saraf Simpatis
Gangliosides

Menjadi kaku Kekakuan dan kejang khas -Keringat berlebihan
pada tetanus -Hipertermi
-Hipotermi
-Aritmia
-Takikardi

Hipoksia berat

 O2 di otak

Kesadaran 

-Ketidakefektifan jalan -PK. Hipoksemia
Ggn. Nutrisi jalan nafas -Ggn. Perfusi Jaringan



E.MANIFESTASI KLINIK.

Gejala klinik pada tetanus neonatorum sangat khas sehingga masyarakat yang primitifpun mampu mengenalinya sebagai “penyakit hari kedelapan” (Jaffari, Pandit dan Ismail 1966). Anak yang semula menangis, menetek dan hidup normal, mulai hari ketiga menunjukan gejala klinik yang bervariasi mulai dari kekakuan mulut dan kesulitan menetek, risus sardonicus sampai opistotonus. Trismus pada tetanus neonatorum tidak sejelas pada penderita anak atau dewasa, karena kekakuan otot leher lebih kuat dari otot masseter, sehingga rahang bawah tertarik dan mulut justru agak membuka dan kaku (Athvale, dan Pai, 1965, Marshall, 1968). Bentukan mulut menjadi mecucu (Jw) seperti mulut ikan karper. Bayi yang semula kembali lemas setelah kejang dengan cepat menjadi lebih kaku dan frekuensi kejang-kejang menjadi makin sering dengan tanda-tanda klinik kegagalan nafas (Irwantono, Ismudijanto dan MF Kaspan 1987). Kekakuan pada tetanus sangat khusus : fleksi pada tangan, ekstensi pada tungkai namun fleksi plantar pada jari kaki tidak tampak sejelas pada penderitaanak.
Kekakuan dimulai pada otot-otot setempat atau trismus kemudian menjalar ke seluruh tubuh, tanpa disertai gangguan kesadaran. Seluruh tubuh bayi menjadi kaku, bengkok (flexi) pada siku dengan tangan dikepal keras keras. Hipertoni menjadi semakin tinggi, sehingga bayi dapat diangkat bagaikan sepotong kayu. Leher yang kaku seringkali menyebabkan kepala dalam posisi menengadah.

Gambaran Umum pada Tetanus
• Trismus(lock-jaw,clenchteeth)
Adalah mengatupnya rahang dan terkuncinya dua baris gigi akibat kekakuan otot mengunyah (masseter) sehingga penderita sukar membuka mulut. Untuk menilai kemajuan dan kesembuhan secara klinik, lebar bukaan mulut diukur tiap hari. Trismus pada neonati tidak sejelas pada anak, karena kekakuan pada leher lebih kuat dan akan menarik mulut kebawah, sehingga mulut agak menganga. Keadaan ini menyebabkan mulut “mecucu” seperti mulut ikan tetapi terdapat kekakuan mulut sehingga bayi tak dapat menetek.
• Risus Sardonicus(Sardonicgrin)
Terjadi akibat kekakuan otot-otot mimic dahi mengkerut mata agak tertutup
sudut mulut keluar dan kebawah manggambarkan wajah penuh ejekan sambil menahan kesakitan atau emosi yang dalam.
• Opisthotonus
Kekakuan otot-otot yang menunjang tubuh : otot punggung, otot leher, trunk muscle dan sebagainya. Kekakuan yang sangat berat menyebabkan tubuh melengkung seperti busur, bertumpu pada tumit dan belakang kepala. Secara klinik dapat dikenali dengan mudahnya tangan pemeriksa masuk pada lengkungan busur tersebut.Pada era sebelum diazepam, sering terjadi komplikasi compression fracture pada tulang vertebra.
• Otot dinding perut kaku, sehingga dinding perut seperti papan. Selain otot didnding perut, otot penyangga rongga dada juga kaku, sehingga penderita merasakan keterbatasan untuk bernafas atau batuk. Setelah hari kelima perlu diwaspadai timbulnya perdarahan paru (pada neonatus) atau bronchopneumonia.
• Bila kekakuan makin berat, akan timbul kejang-kejang umum, mula-mula hanya terjadi setelah penderita menerima rangsangan misalnya dicubit, digerakkan secara kasar, terpapar sinar yang kuat dan sebagainya, lambat laun “masa istirahat” kejang makin pendek sehingga anak jatuh dalam status convulsivus.
• Pada tetanus yang berat akan terjadi :
Gangguan pernafasan akibat kejang yang terus-menerus atau oleh karena spasme otot larynx yang bila berat menimbulkan anoxia dan kematian.Pengaruh toksin pada saraf otonom akan menyebabkan gangguan sirkulasi (akibat gangguan irama jantung misalnya block, bradycardi, tachycardia, atau kelainan pembuluh darah/hipertensi), dapat pula menyebabkan suhu badan yang tinggi (hiperpireksia) atau berkeringat banyak hiperhidrosis).Kekakuan otot sphincter dan otot polos lain seringkali menimbulkan retentio alvi atauretentionurinae.
Patah tulang panjang (tulang paha) dan fraktur kompresi tulang belakang.



F.PENATALAKSANAAN.

• Medik
Empat pokok dasar tata laksana medik : debridement, pemberian antibiotik, menghentikan kejang, serta imunisasi pasif dan aktif, yang dapat dijabarkan sebagai berikut :
 Diberikan cairan intravena dengan larutan glukosa 5% dan NaCl fisiologis dalam perbandingan 4 : 1 selama 48-72 jam selanjutnya IVFD hanya untuk memasukan obat. Jika pasien telah dirawat lebih dari 24 jam atau pasien sering kejang atau apnea, diberikan larutan glukosa 10% dan natrium bikarbonat 1,5% dalam perbandingan 4 : 1 (jika fasilitas ada lebih baik periksa analisa gas darah dahulu). Bila setelah 72 jam bayi belum mungkin diberi minum peroral/sonde, melalui infus diberikan tambahan protein dan kalium.
 Diazepam dosis awal 2,5 mg intravena perlahan-lahan selama 2-3 menit, kemudian diberikan dosis rumat 8-10 mg/kgBB/hari melalui IVFD (diazepam dimasukan ke dalam cairan infus dan diganti setiap 6 jam). Bila kejang masih sering timbul, boleh ditambah diazepam lagi 2,5 mg secara intravena perlahan-lahan dan dalam 24 jam berikutnya boleh diberikan tembahan diazepam 5 mg/kgBB/hari sehingga dosis diazepam keseluruhannya menjadi 15 mg/kgBB/hari. Setelah keadaan klinis membaik, diazepam diberikan peroral dan diurunkan secara bertahap. Pada pasien dengan hiperbilirubinemia berat atau bila makin berat, diazepam diberikan per oral dan setelah bilirubin turun boleh diberikan secara intravena.
 ATS 10.000 U/hari, diberikan selama 2 hari berturut-turut dengan IM. Perinfus diberikan 20.000 U sekaligus.
 Ampisilin 100 mg/kgBB/hari dibagi dalam 4 dosis, intravena selama 10 hari. Bila pasien menjadi sepsis pengobatan seperti pasien lainnya. Bila pungsi lumbal tidak dapat dilakukan pengobatan seperti yang diberikan pada pasien meningitis bakterialis.
 Tali pusat dibersihkan/kompres dengan alcohol 70%/Betadine 10%.
 Perhatikan jalan napas, diuresis, dan tanda vital. Lendir sering dihisap.
• Keperawatan
Perawatan intensif terutama ditujukan untuk mencukupi kebutuhan cairan dan nutrisi, menjaga saluran nafas tetap bebas, mempertahankan oksignasi yang adekuat, dan mencegah hipertermi. Perawatan puntung tali pusat sangat penting untuk membuang jaringan yang telah tercemar spora dan mengubah keadaan anaerob jaringan yang rusak, agar oksigenasi bertambah dan pertumbuhan bentuk vegetatif maupun spora dapat dihambat. setelah puntung tali pusat dibersihkan dengan perhydrol, dibutuhkan povidon 10% dan dirawat secara terbuka. Perawatan puntung tali pusat dilakukan minimal 3 kali sehari,

G.DIAGNOSA BANDING DAN KOMPLIKASI.

• Diagnosa
Pemeriksaan laboratorium : Liquor Cerebri normal, hitung leukosit normal atau sedikit meningkat. Pemeriksaan kadar elektrolit darah terutama kalsium dan magnesium, analisa gas darah dan gula darah sewaktu penting untuk dilakukan.
Pemeriksaan radiologi : Foto rontgen thorax setelah hari ke-5.
• Diagnosa Banding;
 Meningitis
 Meningoenchepalitis
 Enchepalitis
 Tetani karena hipocalsemia atau hipomagnesemia
 Trismus karena process lokal
• Komplikasi
 Bronkhopneumonia
 Asfiksia
 Sepsis Neonatorum.


H.FAKTOR RESIKO DAN PENCEGAHAN.

1. Faktor resiko
Tetanus neonatorum terjadi pada masa perinatal, antara umur 0 sampai 28 hari, terutama pada saat luka puntung tali pusat belum kering, sehingga spora C. tetani dapat mencemari dan berbiak menjadi kuman vegetatif.
• Menurut Foster, (1983) serta Sub Dinas PPM Propinsi Jawa Timur, (1989) terdapat 5 faktor resiko pokok tetanus neonatorum yaitu :
(a) faktor resiko pencemaran lingkungan fisik dan biologik,
(b) faktor cara pemotongan tali pusat,
(c) faktor cara perawatan tali pusat,
(d) faktor kebersihan pelayanan persalinan dan
(e) faktor kekebalan ibu hamil.
• Faktor Risiko Pencemaran Lingkungan Fisik dan Biologik
Merupakan faktor yang menentukan kepadatan kuman dan tingginya tingkat pencemaran spora di lingkungannya. Risiko akan hilang bila lahan pertanian dan peternakan diubah penggunaannya.
• Faktor Cara Pemotongan Tali Pusat
Penggunaan sembilu, pisau cukur atau silet untuk memotong tali pusat tergantung pada pengertian masyarakat akan sterilitas. Setelah dipotong, tali pusat dapat disimpul erat-erat atau diikat dengan benang. Penolong persalinan biasanya lebih memusatkan perhatian pada ”kelahiran” plasenta dan perdarahan ibu.
• Faktor Cara Perawatan Tali Pusat
Tata cara perawatan perinatal sangat berkaitan erat dengan hasil interaksi antara tingkat pengetahuan, budaya, ekonomi masyarakat dan adanya pelayanan kesehatan di lingkungan sekitarnya.Masyarakat di banyak daerah masih menggunakan daun-daun, ramuan, serbuk abu dan kopi untuk pengobatan luika puntung tali pusat. Kebiasaan ini tidak dapat dihilangkan hanya dengan pendidikan dukun bayi saja.
• Faktor Kebersihan Pelayanan Persalinan
Merupakan interaksi antara kondisi setempat dengan tersedianya pelayanan kesehatan yang baik di daerah tersebut yang menentukan subyek penolong persalinan dan kebersihan persalinan. Untuk daerah terpencil yang belum terjangkau oleh pelayanan persalinan yang higienis maupun daerah perkotaan yang biaya persalinannya tak terjangkau oleh masarakat, peranan dukun bayi (terlatih atau tidak) maupun penolong lain sangatlah besar. Pelatihan dukun bayi dapat menurunkan kematian perinatal namun tidak berpengaruh pada kejadian tetanus neonatorum.
Masih banyak ibu yang tidak memeriksakan kehamilannya (25 sampai 60%) dan lebih banyak lagi yang persalinannya tidak ditolong oleh tenaga medis (70%) sehingga resiko tetanus neonatorum bagi bayi lahir di Indonesia besar.
• Faktor Kekebalan Ibu Hamil
Merupakan faktor yang sangat penting. Antibodi antitetanus dalam darah ibu hamil yang dapat disalurkan pada bayinya dapat mencegah manifestasi klinik infeksi dengan kuman C. tetani (Suri, dkk,1964). Suntikan tetanus toksoid 1 kalipun dapat mengurangi kematian tetanus neonatorum dari 70-78 per 1000 kelahiran hidup menjadi 40 per 1000 kelahiran hidup (Newell, 1966, Black, 1980, Rahman, 1982).

2.Pencegahan.
Tindakan pencegahan bahkan eliminasi terutama bersandar pada tindakan menurunkan atau menghilangkan factor-faktor resiko. Meskipun banyak faktor resiko yang telah dikenali dan diketahui cara kerjanya, namun tidak semua dapat dihilangkan, misalnya lingkungan fisik dan biologik. Menekan kejadian tetanus neonatorum dengan mengubah lingkungan fisik dan biologik tidaklah mudah karena manusia memerlukan daerah pertanian dan peternakan untuk produksi pangan mereka.
Pendekatan pengendalian lingkungan dapat dilakukan dengan mengupayakan kebersihan lingkungan yang maksimal agar tidak terjadi pencemaran spora pada proses persalinan, pemotongan dan perawatan tali pusat. Mengingat sebagian besar persalinan masih ditolong oleh dukun, maka praktek 3 bersih, yaitu bersih tangan, alat pemotong tali pusat dan alas tempat tidur ibu (Dep. Kesehatan, 1992), serta perawatan tali pusat yang benar sangat penting dalam kurikulum pendidikan dukun bayi. Bilamana attack rate tak dapat diturunkan dan penurunan faktor risiko persalinan serta perawatan tali pusat memerlukan waktu yang lama, maka imunisasi ibu hamil merupakan salah satu jalan pintas yang memungkinkan untuk ditempuh.
Pemberian tokoid tetanus kepada ibu hamil 3 kali berturut-turut pada trimester ketiga dikatakan sangat bermanfaat untuk mencegah tetanus neonatorum. Pemotongan tali pusat harus menggunakan alat yang steril dan perawatan tali pusat selanjutnya.
























DAFTAR PUSTAKA

 Prof. dr. H. M. Syaifullah Noer, 1996, Ilmu Penyakit Dalam, Jilid I, Edisi 3, Balai Penerbit FKUI, Jakarta.
 Prof. dr. Abdul Bari Saifudin, SpoG., MPH., 2002, Pelayanan Kesehatan Maternal dan Neonatal, Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo, Jakarta
 dr. T.H. Rampengan, DSAK, 1990, Penyakit Infeksi Tropik Pada Anak, Jakarta : EGC.
 Prof. dr. Abdul Bari Saifudin, SpoG., MPH., 2002, Buku Panduan Praktis Pelayanan Kesehatan Maternal dan Neonatal, Jakarta : YBP-SP.





















ASUHAN KEPERAWATAN PADA KLIEN DENGAN TETANUS NEONATORUM

A.Pengkajian Keperawatan

1. Riwayat kehamilan prenatal. Ditanyakan apakah ibu sudah diimunisasi TT.
2. Riwayat natal ditanyakan. Siapa penolong persalinan karena data ini akan membantu membedakan persalinan yang bersih/higienis atau tidak. Alat pemotong tali pusat, tempat persalinan.
3. Riwayat postnatal. Ditanyakan cara perawatan tali pusat, mulai kapan bayi tidak dapat menetek (incubation period). Berapa lama selang waktu antara gejala tidak dapat menetek dengan gejala kejang yang pertama (period of onset).
4. Riwayat imunisasi pada tetanus anak. Ditanyakan apakah sudah pernah imunisasi DPT/DT atau TT dan kapan terakhir
5. Pemeriksaan fisik.
• Keadaan Umum : Lemah, sulit menelan, kejang
• Kepala : Poisi menengadah, kaku kuduk, dahi mengkerut, mata agak tertutup, sudut mulut keluar dan kebawah.
• Mulut : Kekakuan mulut, mengatupnya rahang, seperti mulut ikan.
• Dada : Simetris, kekakuan otot penyangga rongga dada, otot punggung.
• Abdomen : Dinding perut seperti papan.
• Kulit : Turgor kurang, pucat, kebiruan.
• Ekstremitas : Flexi pada tangan, ekstensi pada tungkai, hipertoni sehingga bayi dapat diangkat bagai sepotong kayu.
Pemeriksaan Persistem
• Respirasi : Frekuensi nafas, penggunaan otot aksesori, bunyi nafas, batuk-pikel.
• Kardiovaskuler : Frekuensi, kualitas dan irama denyut jantung, pengisian kapiler, sirkulasi, berkeringat, hiperpirexia.
• Neurologi : Tingkat kesadaran, reflek pupil, kejang karena rangsangan.
• Gastrointestinal : Bising usus, pola defekasi, distensi
• Perkemihan : Produksi urine
• Muskuloskeletal : Tonus otot, pergerakan, kekakuan.
B.Diagnosa Keperawatan

1. Ketidakefektifan jalan nafas b.d. terkumpulnya liur di dalam rongga mulut (adanya spasme pada otot faring).
2. Perubahan nutrisi, kurang dari kebutuhan tubuh b.d refleks menghisap pada bayi tidak adekuat.
3. Resiko tinggi terhadap trauma atau penghentian pernapasan b.d kehilangan koordinasi otot-otot pernapasan.

1. Ketidakefektifan jalan nafas b.d. terkumpulnya liur di dalam rongga mulut (adanya spasme pada otot faring)
Tujuan : kelancaran lalu lintas udara (pernafasan) terpenuhi secara maksimal.
Kriteria hasil :
 Tidak terjadi aspirasi
 Bunyi napas terdengar bersih
 Rongga mulut bebas dari sumbatan
Intervensi keperawatan;
1. Berikan O2 nebulizer
R; mengencerkan secret yang menumpuk pada saluran pernapasan
2. Letakkan klien pd posisi miring permukaan datar , miringkan kepala
selama serangan kejang.
R; Mencegah aspirasi.
3. Tanggalkan pakain pd derah dada /abdomen dan leher.
R; Untuk memfasilitasi usaha bernafas atau ekspansi dada.
4. Masukkan spatel lidah atau jalan nafas buatan atau gulungan benda lunak
sesuai indikasi.
R; Untuk mencegah gigitan lidah, mengefektifkan jalan nafas.
5. Lakukan pengisapan sesuai indikasi
R; Mempertahankan bersihan jalan nafas
6. Berikan tambahan oksigen sesuia indikasi
R; Memenuhi kebutuhan klien terhadap oksigen.

2. Perubahan nutrisi, kurang dari kebutuhan tubuh b.d refleks menghisap pada bayi tidak adekuat.
Tujuan : nutrisi dan cairan dapat dipertahankan sesuai dengan berat badan dan pertumbuhan normal.
Kriteria hasil :
 Tidak terjadi dehidrasi
 Tidak terjadi penurunan BB
 Hasil lab. tidak menunjukkan penurunan albumin dan Hb
 Tidak menunjukkan tanda-tanda malnutrisi
Intervensi :
1. Catat intake dan output secara akurat.
R; memonitori cairan yang masuk dan keluar.
2. Berikan makan minum personde tepat
R; mempertahankan keseimbangan cairan dan elektrolit
3. Gunakan aliran oksigen untuk menurunkan distress nafas.
R; memenuhi kebutuhan oksigen
4. Berikan formula yang mengandung kalori tinggi dan protein tinggi dan
sesuaikan dengan kebutuhan.
R; mempertahankan keseimbangan nutrisi.
5. kolaborasi dengan ahli gizi.
R; memberi terapi yang sesuai.

3. Resiko tinggi terhadap trauma atau penghentian pernapasan b.d kehilangan koordinasi otot-otot pernapasan (kejang).
Tujuan; mencegah terjadinya kejang.
Kriteria :
- Tidak terdapatnya faktor resiko internal ataupun ekternal untuk memunculkan serangan gagal nafas.
- Pengobatan dapat dipertahankan untuk mengontrol aktifitas kejang dan pencegahan
Intervensi Keperawatan :
1. Gali bersama keluarga klien berbagai stimulus pencetus kejang
R; Untuk menghindari faktor resiko terjadinya kejang
2. Pertaahankan bantalan lunak, pada penghalang tempat tidur yg aman.
R; Untuk mencegah klien dari trauma.
3. Pertahankan tirah baring secara ketat jika klien menunjukkan gejala prodromal kejang.
R; Untuk mencegah/ mengambil tindakan secara mudah jika terjadi
serangan kejang,klien bebas dari trauma.
4. Tinggallah bersama klien bbrp lama setelah timbulnya kejang.
R; Mengobservasi timbul;nya serangan kejang berulang
5. Miringkan kepala, masukkan tong spatel kemulut, dan lakukan
pengisapan.
R; Mencegah aspiras, gigitan lidah, dan aspirasi oleh cairan pd jalan nafas.
6. Catat tipe aktifitas kejang
R; Memberi pengaman thd pencegahan serangan kejang berikutnya.
7. Kolaborasi pembelian obat-obat anti kejang.
R; Mencegah terjadinya serngan kejang yang berulang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar